Geliat Fintech P2P Lending di Indonesia




Geliat Fintech P2P Lending di Indonesia 
Oleh: Kuseryansyah, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI)
#geliatfintech #fintechindonesia #fintech #p2plending

Tahun 2018 ini dapat dikatakan sebagai tahun mulai ramai pembicaraan mengenai Fintech. Hiruk pikuk terakhir lebih untuk menunjuk "batang hidung" dari pinjam meminjam uang secara online, yang secara lebih spesifik hal ini menjadi viral karena ada pengalaman negatif peminjam uang secara online terkait dengan cara penagihan oleh debt collector dari perusahaan pinjaman online tersebut atau yang sering disamakan dengan fintech p2p lending. 

Menyantap berita-berita terkait pinjol di media online maupun di social media, permasalahan yang timbulkan oleh pinjaman online atau sering disebut fintech p2p lending ini dapat kita sebutkan sbb:
  1. Adanya cara penagihan oleh kolektor dari perusahaan pinjaman online (pinjol) atau fintech dengan cara yang tidak sopan. Dialog antara kolektor dan borrower direkam dan untuk beberapa kasus, rekaman tersebut di posting di social media, yang menimbukan simpati kepada korban, sebaliknya "kebencian" kepada usaha pinjol. 
  2. Adanya penagihan oleh kolektor dengan menggunakan personal data/phone book/foto dari borrower, hal mana tidak dibenarkan oleh POJK untuk menggunakan data personal/phone book untuk melakukan penagihan. Beberapa kolektor mengancam akan memposting foto seksi borrower ke social media jika tidak melakukan pembayaran/pelunasan hutang
  3. Adanya penagihan hutang melalui orang lain, baik itu melalui keluarga dekat, tetangga bahkan rekan/atasan kerja. Beberapa oknum debt collector platform fintech illegal bahkan  membuat wag dengan judul "buronan pinjaman online" yang beranggotakan teman, keluarga dekat dan nama-nama lain yang diperoleh dari phone book. 
  4. Adanya indikasi penggunaan identitas diri orang lain dalam pengajuan pinjaman di platform fintech.
Keempat hal diatas mewakili hingar bingar terkait pinjaman online yang terjadi belakangan ini, bahkan beberapa TV nasional melakukan ulasan khusus terkait praktek-praktek tidak beretika dari P2P Lending. Liputan dan posting sekilas terlihat untuk mengesankan betapa tidak fair, dan tidak beretikanya cara-cara penyelesaian hutang yang diterapkan di platform fintech p2p lending.

Cerita diatas dapat dikatakan mewakili perspektif dari korban, media atau lembaga-lembaga advokasi/perlindungan konsumen. Tidak ada yang salah, cerita diatas adalah ungkapan, persepsi dan bahkan fakta atas beberapa pengalaman pahit berurusan dengan pinjaman online, yang tetap perlu diverifikasi

Sisi kelam Fintech?

Jika ingin lebih jelas, masuklah ke google atau youtube, cari video dengan keyword #korban pinjol #korbanfintech, beberapa video yang diupload mewakili sisi korban cukup banyak dapat ditemui dan ditonton, dan mewakili keempat case diatas. Dapatlah dikatakan tayangan dan liputan tersebut menunjukkan sisi kelam dari kehadiran fintech di Indonesia. Kasian memang, industri yang masih bayi ini harus langsung berhadapan dengan pengalaman-pengalaman dengan negative tone. Namun hal tersebut merupakan sebagian resiko yang harus di hadapi industry fintech, yang dapat dikategorikan sebagai resiko kredit, resiko reputasi, resiko terkait people, atau resiko teknologi. Ya,,, bisnis fintech sebagaimana bisnis finansial lainnya adalah bisnis resiko.

Sini kelam fintech lainnya, adalah ketika tudingan dilakukannya misused atas data pribadi yang di download aplikasi fintech kemudian data tersebut dipergunakan saat team kolektor mengalami kesulitan untuk menagih langsung dari borrower.

Atas beberapa kasus diatas, muncul kekhawatiran bahwa fintech di Indonesia tumbuh secara tidak termonitor dan tidak dapat dikendalikan oleh regulator. Dan lebih jauh masyarakat juga terlanjur terinformasi terkait fintech di China yang ditutup oleh otoritas dikarenakan melakukan praktek shadow banking  dan investasi dengan skema Ponzi. 

Lebih jauh, muncul kekhawatiran bahwa fintech p2p lending yang beroperasi di Indonesia tidak punya kepedulian terhadap perlindungan konsumen, hal mana merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan Undang undang kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Bagaimana sesungguhnya usaha fintech di Indonesia berjalan? apakah punya kemiripan pola dengan yang berlaku di China atau India atau Negara-Negara di region dan lebih jauh apa bedanya dengan perkembangan fintech di Negara-Negara yang lebih maju seperti UK, US dan Negara Eropa lainnya?

Lantas adakah hubungannya antara kasus-kasus yang selama ini viral dengan aturan ke fintech -an di Indonesia?

Fintech Jalan Tengah ?

Dibandingkan dengan fintech diberbagai Negara utamanya Asia, maka fintech di Indonesia ada pada jalan tengah. Tidak terlalu bebas namun juga tidak terlalu ketat. Di bandingkan dengan China dimana tahap awal tumbuhnya p2p lending boleh dikatakan tidak diawali dengan hadirnya regulasi khusus yang mengatur tentang fintech. Jika seseorang punya perusahaan, inovasi teknologi, punya dana untuk disalurkan dan dapat menawarkan jasa pinjaman kepada borrower maka bisnis sudah bisa dimulai. Tak pelak lagi, hal ini menyebabkan usaha yang masuk kategori pinjaman online tumbuh bak jamur di musim hujan di China. Sisi positifnya hal ini menjadi saluran bagi dana-dana idle yang ada dimasyarakat masuk disalurkan menjadi usaha pinjaman yang dapat menstimulus belanja konsumtif  maupun belanja produktif yang ujung-ujungnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusi terhadap GDP China.

Berbeda dengan China, Indonesia memberikan landasan aturan sejak awal berjalannya bisnis p2p lending. Kita mengenal POJK 77/2016 yang mengatur tentang layanan pinjam meminjam uang dengan teknologi informasi (LPMUBTI). Sejak diterbitkannya aturan ini maka mulai bermunculan startup fintech p2p lending dengan berbagai bisnis model masuk dalam proses tercatat dan berijin di Direktorat Pengaturan Perijinan dan Pengawasan Fintech. Perkembangannya begitu pesat. Jika sampai akhir November 2018, 72 perusahaan terdaftar dan 1 perusahaan sudah mengantongi ijin, dan kondisi terakhir per 24 Mei 2019 sudah tercatat total 113  platform p2p lending, 7 diantaranya telah mendapat ijin operasi penuh dari OJK, serta ada 6 platform fintech Syariah. Pada titik ini, kita tidak perlu khawatir bahwa fintech p2p lending di Indonesia tumbuh "liar" seperti di China. Sedari awal sudah ada relnya, dan POJK 77 dapat dikatakan sebagai "smart" POJK karena di dalamnya sudah berlaku proses "sandbox" melalui tahap terdaftar sebelum mendapatkan ijin penuh. 

Jika P2P lending, Pinjaman online di China tumbuh secara agresif, maka P2P lending di Indonesia juga tumbuh cukup agresif namun lebih termonitor dan terkendali. Dengan adanya aturan khusus tentang p2p lending, selain 113 platform diatas, saat ini  tak kurang 135 perusahaan sedang dalam proses terdaftar di OJK DP3F (Direktorat Pengaturan, Perijinan dan Pengawasan Fintech) P2P lending dan sekitar 30 startups dalam proses mencatatkan diri di OJK Inovasi Keuangan Digital (POJK 13/2018), cukup banyak walau tidak sebanyak China dimana fintechnya sempat lebih dari 6000 platform/perusahaan.

Dengan diaturnya eksistensi dari perusahaan p2p lending maka sisi positif yang kita dapatkan dan berbeda dengan China adalah:
  1. Semua p2p lending beroperasi dengan menggunakan bank sebagai infrastruktur utama, dimana lalu lintas transaksi uang melalui virtual/escrow account bank. Kekhawatiran munculnya shadow banking dapat sangat berkurang, karena OJK mengatur bahwa dana mengendap di rekening escrow platform tidak boleh lebih dari 2 hari. Keamanan customer juga lebih terjamin karena dana lender tidak masuk ke rekening perusahaan p2p lending tp langsung ke virtual account customer. Begitupun pembayaran cicilan oleh borrower tidak langsung ke rekening p2p lending tetapi melalui virtual account borrower ditransfer ke rekening lender . Dalam hal ini p2p lending platform lebih sebagai pengatur lalu lintas dari transaksi antara lender dan borrower, dan mendapatkan management fee atas pengelolaan itu. 
  2. Perusahaan p2p lending harus menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dimana melalui asosiasi semua anggota tunduk pada  code of conduct  sebagai sesama pelaku usaha p2p lending yang mencakup komitmen untuk melakukan tata kelola perusahaan secara baik, penerapan risk management dan penghindaran pinjaman berlebih dan pelaksanaan penagihan yang baik dan bertanggung jawab, serta komitmen untuk melakukan perlindungan terhadap data pribadi dan usaha konsumen.
  3. Gerak langkah perusahaan P2P Lending betul-betul terdaftar, termonitor dan diawasi OJK, serta sewaktu-waktu jika ada pelanggaran maka pelaku usaha  akan berhadapan dengan sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh asosiasi melalui Majelis Etika. Terobosan yang dilakukan AFPI terkait pengenaan sanksi juga patut diacungi jempol. AFPI melalui Majelis Etika dapat menjatuhkan sanksi kepada anggota yang melanggar Pedoman Perilaku dengan 4 (empat) tingkatan: 1. Teguran tertulis, 2. Publikasi nama anggota dan ketentuan yang dilanggar kepada OJK dan kepada masyarakat, 3. Pemberhentian sementara dari keanggotaan asosiasi, dan atau 4.  Pemberhentian tetap dari keanggotaan asosiasi. Dengan mekanisme seperti ini maka  jika asosiasi sampai menjatuhkan hukuman pencabutan keanggotaan, maka sangat mungkin OJK akan merespon dengan penerapan sanksi-sanksi yang dimungkinkan pada POJK 77/2016 seperti: Teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan ijin.
  4. Perubahan kepemilikan saham, komisaris dan direksi harus melalui persetujuan OJK, dengan prosedur ini, dapat lebih dipastikan bahwa mereka yang memiliki rekam jejak yang baiklah yang dapat berusaha P2P Lending di Indonesia 
  5. Laporan bulanan dari pelaku usaha yang langsung mendapat review dan follow up dari masing-masing pengawas.
  6. Penyelenggara P2P lending betul-betul sebagai platform yang mempertemukan lender dengan borrower. Untuk itu ada ketentuan tentang larangan bagi penyelenggara P2P lending diantaranya larangan:  memberikan pinjaman kepada borrower, larangan menjadi borrower, larangan merekomendasikan borrower, larangan menjamin hutang.
  7. Salah satu pesan penting dari POJK 77/2016 adalah tentang pentingnya transparansi usaha yang harus menjadi karakteristik dan mental dari penyelenggara. Platform didorong untuk memberi keterbukaan tentang pengenaan biaya-biaya, keterbukaan tentang hak dan kewajiban pengguna, keterbukaan tentang kualitas portfolio dan resiko  dengan menginformasikan tingkat keberhasilan bayar 90 hari  (TKB90)  setiap hari.

Quo Vadis Fintech P2P Lending?

Optimisme
Pada sisi supply, berdasarkan informasi OJK, dengan total potensi penyelenggara hingga lebih dari 250 platform P2P lending, dapat dikatakan ada minat yang tinggi dari berbagai kalangan, domestic maupun luar negeri untuk masuk ke industry fintech lending di Indonesia. Apalagi dengan perkembangan terakhir, OJK baru saja menerbitkan  ijin usaha penuh kepada 6 platform P2P Lending yang tentunya semakin meningkatkan trust dan kredibilitas terhadap industry fintech lending. Dari 113 P2P lending terdaftar/berijin dapat dikategorikan dalam beberapa kategori produk yang ditawarkan: Pendanaan Produktif murni 23 perusahaan (20%), Pendanaan fokus pada konsumtif 30 perusahaan (27%), 49 perusahaan (43%) melakukan pendanaan produktif dan konsumtif, serta 7 platform Syariah, dengan 6 (5%) diantaranya murni Syariah. 

Jika pada tahap awal kebanyakan platform P2P lending masuk dengan mendapat support dari venture capital dalam mengawal fase awal pertumbuhan, maka saat ini platfrom P2P lending dengan background group perusahaan besar di Indonesia semakin banyak masuk ke P2P lending dengan beberapa pola. Sebut saja Astra Group yang telah memiliki platform Maucash. Sinarmas Group dengan platform Danamas dan Finmas, Lippo Group dengan platform Adakita. Djarum/BCA Group dengan platform KlikAcc dan Julo. Bahkan saat ini, perusahaan-perusahaan fintech besar di regional (Asia Pacific) juga semakin banyak yang masuk dan akan masuk ke pasar Fintech Indonesia. 

Besarnya antusiasme pengusaha masuk ke bisnis Fintech P2P Lending ini sebenarnya sangat beralasan jika kita mengacu pada data/laporan  yang dikeluarkan World Bank/IFC pada akhir tahun 2016, dimana disebutkan bahwa dari 1600 trilyun rupiah kebutuhan pendanaan/kredit UMKM, lembaga keuangan "tradisional" (bank dan multfinance) faktanya baru sanggup mengisi 600an Trilyun, dimana ada gap credit  sekitar 1000 triliun yang dapat dikategorikan sebagai segmen unbank atau underserved, hal mana segmen inilah yang sebenarnya menjadi target pasar Utama dari Fintech P2P lending, yang beroperasi menggunakan inovasi dan kehandalan platformnya dari sisi kecepatan, kesederhanaan, penggunaan data alternatif dan personalized report. Jika mengacu pada data OJK, bahwa hingga April 2019 total pinjaman yang telah di disburse telah mencapai 37 triliun rp dimana tentu masih jauh jika dibandingkan dengan  kebutuhannya 1000 an triliun per tahun. 

Tantangan ke depan
Selain kondisi optimis di atas, kehadiran P2P lending tidak luput dari beberapa isu dengan tone negatif, sekaligus menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholders di industri Fintech lending seperti:
  1. Masih munculnya protes keresahan masyarakat terkait: penagihan yang kasar dan tidak beretika
  2. Akses terhadap data personal (phonebook),  
  3. Pengenaan tingkat bunga yang tinggi 
  4. Fenomena gali lubang tutup lobang dimana seorang borrower bisa "terjebak" pinjaman di banyak platform, yang ujung-ujungnya memiliki implikasi social terhadap kehidupan pribadi maupun berimplikasi terhadap kegiatan usaha/pekerjaan dari borrower 
  5. Terkait pula dengan hal-hal di atas, masih banyaknya beroperasi Fintech illegal (beroperasi dengan tidak melalui proses terdaftar di OJK)
Sekalipun OJK telah merespon hal-hal diatas dengan membatasi akses platform hanya pada: Camera, Microphone dan location ditambah lagi dengan hadirnya Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menerapkan standar operasi yang tinggi sebagaimana tertuang dalam pedoman perilaku (code of conduct), untuk benar-benar mengurangi ekses negatif sekaligus upaya perlindungan konsumen ada beberapa agenda yang kedepan kiranya patut mendapat perhatian sbb:
  1. Perlunya menggesa agar Undang-undang Perlindungan Data Pribadi segara dapat di undangkan
  2. Di era transformasi digital yang juga sudah masuk ke sector keuangan, maka diperlukan pula hadirnya Undang-undang Fintech agar selain meningkatkan trust terhadap industri juga agar penegak hukum dapat mengambil tindakan terhadap beroperasinya fintech illegal yang meresahkan masyarakat, ujung-ujungnya tentu dalam rangka perlindungan : investor, borrower, platform, termasuk kepentingan pemerintah dalam hal pajak. 
  3. Menggiatkan edukasi dan literasi keuangan masyarakat
  4. Perlunya dibuatkan terobosan agar Fintech dapat segera terhubung dalam memanfaatkan data kependudukan (dukcapil) untuk memperkuat proses E-KYC, sehingga proses onboarding jarak jauh semakin konfiden dilakukan yang berdampak terjadinya efisiensi  dan efektifitas usaha
  5. Perlunya dilakukan terobosan oleh Pemerintah agar kekurangan talent dibidang teknologi, data science/analitik, software developer, business manager, blockchain, dll.
  6. Perlunya diselenggarakan Online  Dispute Resolution (ODR) atas munculnya pengaduan dan kasus-kasus terkait lender, platform dan borrower. 
  7. Menjaga konsistensi dilaksanakannya kegiatan-kegiatan sertifikasi bagi stakeholder di industry fintech lending, apa yang telah dilakukan melalui AFPI kedepan harus ditingkatkan kuantitas dengan mulai masuk ke tema-tema lain terkait risk management, alternative credit scoring, artificial intelligent, dll
Membangun industry keuangan tentunya sama dan sejalan dengan membangun peradaban financial pada masyarakat. Bukan pekerjaan seperti Loro Jonggrang meminta Bandung Bondowoso dibangunkan 1000 candi dalam semalam sebagai syarat pernikahan. Banyak hal yang harus disiapkan karena ujung-ujungnya industry fintech lending yang akan kita bangun adalah ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran  bagi masyarakat Indonesia.

Kuseryansyah
Fintech Enthusiast, Fintech Practitioner,
Fintech Speaker, Committed to humanizing Industry 4.0 

    Subscribe to receive free email updates:

    0 Response to "Geliat Fintech P2P Lending di Indonesia"

    Post a Comment